Laporan Pendahuluan dan Konsep Dasar Medis Apendisitis

 

A.    Konsep dasar medis Apendisitis 

1.      Pengertian

Apendisitis adalah peradangan dari apendiks vermiformis dan merupakan suatu bagian seperti kantong yang non fungsional dan terletak dibagian inferior sekum, dimana penyebab umum dari apendisitis adalah obstruksi lumen oleh faeces yang akhirnya merusak suplai darah, merobek mukosa dan menyebabkan inflamasi.

2.      Etiologi

Keadaan yang sering menunjukkan terjadinya apendisitis adalah karena adanya obsturksi lumen yang biasanya disebabkan oleh :

a.       Fekalit

b.      Hiperplasia polikel limfoid

1)      Sering pada anak-anak

2)      Pada usila karena arterioklerosis

c.       Benda asing seperti biji-bijian

d.      Cacing atau parasit, jenis cacing yang sering adalah cacing kremi

e.       Struktur karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya

f.       Sebab lainnya misalnya tumor atau keganasan

3.      Insiden

Insiden maksimum apendisitis akut terjadi pada decade kedua dan ketiga dari kehidupan. Walau penyakit tersebut dapat terjadi pada setiap saat dari kehidupan, namun relatif jarang ditemukan pada usia yang ekstrim. Laki-laki dan perempuan memiliki resiko yang sama, kecuali antara puberitas dan usia 25 tahun, yaitu pada laki-laki frekuensinya lebih tinggi dengan rasio 3 : 2. perforasi relatif lebih sering terjadi pada bayi dan pada usia lanjut, selama periode itu angka mortalitasnya paling tinggi. Angka kematian telah menurun secara menetap di Eropa dan Amerika Serikat dari 8,1 / 100.000 populasi pada tahun 1941 sampai kurang dari 1 / 100.000 pada tahun 1970 dan seterusnya. Insidensi absolut dari penyakit itu juga turun sebesar kira-kira 40 % antara tahun 1940 dan 1960 tetapi sejak itu insidensinya tetap tidak berubah. Meskipun berbagai banyak faktor seperti kebiasaan makan, perubahan flora usus dan asupan vitamin telah dianggap menjelaskan penurunan insidensi penyakit tersebut, namun alasan yang tepat belum dapat dikemukakan. Secara keseluruhan insidensi apendisitis jauh lebih rendah di negara belum berkembang, terutama daerah di Afrika dan pada kelompok sosial ekonomi rendah.

4.      Anatomi dan fisiologi

Saluran pencernaan makanan merupakan saluran yang menerima makan dari luar dan mempersiapkannya untuk di serap oleh tubuh dengan jalan proses pencernaan (pengunyahan, penelanan dan pencampuran) dengan enzim dari zat cair yang terbentuk mulai mulut (oris) sampai anus. Susunan pencernaan terdiri dari :

a.       Oris (mulut)

Mulut adalah permulaan saluran pencernaan yang terdiri dari dua bagian yaitu:

1)      Bagian luar, yaitu ruang diantara gusi, gigi, lidah, bibir dan pipi.

a)      Gigi, berfungsi untuk memotong makanan, memutuskan makanan yang keras dan liat serta untuk mengunyah makanan.

b)      Lidah, berfungsi untuk mengaduk makanan, membentuk suara, alat pengecap, dan menelan makanan.

2)      Bagian dalam atau rongga mulut, yaitu rongga mulut yang dibatasi sisinya oleh tulang maksilaris palatum dari mandibularis disebelah belakang dengan faring.

b.      Faring (tekak)

      Merupakan organ yang menghubungkan rongga mulut dengan kerongkongan (esophagus). Di dalam lengkungan faring terdapat tonsil (amandel) yaitu kumpulan kelenjar limfe yang banyak mengandung limfosit dan merupakan pertahanan terhadap infeksi. Disini terletak persimpangan antara jalan napas dan jalan makan, letaknya di belakang rongga mulut dan rongga hidung di depan ruas tulang belakang.

c.       Esophagus (kerongkongan)

Merupakan saluran yang menghubungkan rongga mulut dengan lambung, panjangnya ± 25 cm, mulai dari faring sampai masuk kardiak di bawah lambung. Esophagus terletak di belakang trachea dan di depan tulang punggung setelah melalui thoraks menembus diafragma masuk ke dalam abdomen menyambung dengan lambung.

d.      Gaster (lambung)

Gaster (lambung) merupakan bagian dari saluran yang dapat mengembang paling banyak terutama di daerah epigaster. Lambung terdiri dari bagian atas fundus berhubungan dengan esophagus melalui orifisium pilori, terletak dibawah diafragma di depan pancreas dan limpa, menempel di sebelah kiri fundus. Bagian lambung terdiri :

1)      Fundus Ventriuli, bagian yang menonjol ke atas terletak sebelah kiri osteum kardium dan biasanya penuh berisi gas.

2)      Korpus ventriuli, setinggi ostium radium, suatu lekukan pada bagian bawah kurvatura minor.

3)      Pylorus, bagian lambung berbentuk tabung mempunyai otot yang tebal membentuk sfingter pylorus.

4)      Kurvatura minor, terdapat sebelah kanan lambung terbentang dari osteum kardiak sampai ke pylorus.

5)      Kuvatura mayor, lebih panjang dari kurvatura minor terbentang dari sisi kiri osteum kardiakum melalui ventrikuli menuju ke kanan sampai pylorus inferior.

6)      Osteum kadiakum, merupakan tempat dimana esophagus bagian abdomen masuk ke lambung.

Fungsi lambung terdiri dari :

1)      Menampung makanan, menghancurkan dan menghaluskan makanan oleh peristaltik dan getah lambung.

2)      Getah lambung yang dihasilkan

a)      Asam hidroklorida (0,4 persen), fungsinya mengasamkan semua makanan dan bekerja sebagai zat antiseptik dan desinfektan.

b)      Pepsin, fungsinya memecahkan putih telur menjadi asam amino (albumin dan pepton).

c)      Rennin, fungsinya sebagai ragi yang membekukan susu dan membentuk kasein dari kasinogen (kasinogen dan protein)

d)     Lipase lambung, jumlahnya sedikit memecahkan lemak menjadi asam lemak yang merangsang sekresi asam lambung.

e.       Intestinum minor (usus halus)

Intestinum minor adalah bagian dari sistem pencernaan makanan yang berpangkal pada pylorus dan berakhir pada saikum panjangnya ± 6 m, merupakan saluran paling panjang tempat proses pencernaan yang terdiri dari lapisan usus halus :

1)      Lapisan mukosa (sebelah dalam)

2)      Lapisan otot melingkar

3)      Lapisan otot memanjang (M. longitudinal)

4)      Lapisan serosa

Intestinum minor terbagi beberapa bagian terdiri dari :

1)      Deudenum disebut juga usus dua belas jari panjangnya ± 25 cm berbentuk sepatu kuda melengkung ke kiri. Pada lengkungan ini terdapat pancreas dan bagian kanan deudenum ini terdapat selaput yang membukit disebut papilla vateri.

2)      Jejenum mempunyai panjang sekitar ± 6 meter. Dua perlima bagian atas adalah jejenum dengan panjag ± 23 meter. Lekukan jejenum melekat pada dinding abdomen posterior dengan dengan perantaraan lipatan peritoneum yang berbentuk kipas yang dikenal sebagai mesentrium.

3)      Ileum, mempunyai panjang 4 – 5 m. lingkungan ileum melekat pada abdomen posterior dengan perantaraan lipatan peritoneum yang berbentuk kipas yang dikenal sebagai mesentrium. Ujung bawah ileum berhubungan dengan saikum dengan perantaraan lubang yang bernama orifisium ilioseikalis. Orifisium ini diperkuat oleh spinter ileoseikalis dan pada bagian ini terdapat katup valvula saikalis atau valvula baukhini yeng berfungsi untuk mencegah cairan dalam colon asendens tidak masuk kembali ke dalam ileum.

f.       Intestinum mayor (usus besar)

Panjang ± 1 ½ meter, lebarnya 5 – 6 cm, lapisan-lapisan usus besar dari dalam keluar yaitu :

1)      Selaput lendir

2)      Lapisan otot melingkar

3)      Lapisan otot panjang

4)      Jaringan ikat

Intestinum mayor terdiri dari :

1)      Seikum, dibawah seikum terdapat appendiks vermiformis yang berbentuk seperti cacing sehingga disebut juga umbai cacing, panjangnya 6 cm. Seluruhnya ditutupi oleh peritoneum, mudah bergrak walaupun tidak mempunyai mesentrium dan dapat diraba melalui dinding abdomen pada orang yang masih hidup.

2)      Colon asendens, panjangnya 13 cm, terletak dibawah abdomen sebelah kanan membujur keatas dari ileum ke bawah hati di bawah hati melengkung ke kiri, lengkungan ini disebut fleksura hepatica dilanjutkan sebagai colon tranversum.

3)      Apendiks (usus buntu) bagian dari usus besar yang muncul seperti corong dari akhir seikum mempunyai pintu keluar yang sempit tapi masih memungkinkan dapat dilewati oleh beberapa isi usus. Apendiks tergantung menyilang pada linea terminalis masuk kedalam rongga pelvis minor terletak horizontal di belakang seikum. Sebagai suatu organ pertahanan terhadap infeksi kadang apendiks bereaksi secara hebat dan hiperaktif yang bisa menimbulkan perforasi dindingnya ke dalam rongga abdomen.

4)      Colon tranversum, panjangnya ± 38 cm, membujur dari colon asendens sampai colon desendens berada di bawah abdomen, sebelah kanan terdapat fleksura hepatica dan sebelah kiri terdapat fleksura lienalis.

5)      Colon desendens panjangnya ± 25 cm, terletak di bawah abdomen bagian kiri membujur dari atas ke bawah dari fleksura lienalis sampai ke depan ileum kiri, bersambung dengan colon sigmoid.

6)      Colon sigmoid merupakan lanjutan dari colon desendens terletak miring, dalam rongga pelvis sebelah kiri bentuknya menyerupai huruf sehubungan dengan ujung bawahnya berhubungan dengan rectum.

7)      Rectum terletak di bawah colon sigmoid yang menghubungkan intestium mayor dengan anus, terletak dalam rongga pelvis di depan os sacrum dan os koksigeus.

8)      Anus adalah bagian dari saluran pencernaan yang menghubungkan rectum dengan dunia luar (udara luar) terletak didasar pelvis, dindingnya diperkuat oleh 3 sfingter :

a)      Sfingter ani internus (sebelah kiri), bekerja tidak menurut kehendak

b)      Sfingter levator ani, bekerja juga tidak menurut kehendak

c)      Sfingter ani eksternus (sebelah bawah) bekerja menurut kehendak


Apendiks disebut juga umbai cacing, istilah usus buntu yang sering dipakai di masyarakat awam adalah kurang tepat karena usus buntu sebenarnya adalah sekum. Fungsi organ ini tidak diketahui namun sering menimbulkan masalah kesehatan, dimana pada peradangan akut memerlukan tindakan bedah segera untuk mencegah komplikasi yang umumnya berbahaya.

Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10 cm dan berpangkal di sekum, lumennya sempit dibagian proksimal dan melebar dibagian distal. Namun pada bayi apendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit kearah ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi sebab rendahnya insiden apendisitis pada usia itu. Pada 60 % kasus, apendiks terletak intra peritonial sehigga memungkinkan apendiks bergerak dan ruang geraknya bergantung pada panjang mesoapendiks penggantungnya. Pada kasus selebihnya apendiks terletak retroperitoneal yaitu di belakang sekum, di belakang colon asendens atau ditepi leteral colon asendens.

Persarafan parasimpatik apendiks berasal dari cabang nervus vagus yang mengikuti arteri mesentrika superior dan arteri apendikuler. Sedangkan persarafan simpatis berasal dari nervus torakalis X, karena itu nyeri viseral pada apendisitis bermula di sekitar umbilicus.

Perdarahan apendiks berasal dari arteri apendikularis yang merupakan arteri tanpa kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya trombosis pada infeksi, apendiks akan mengalami gangguan.

 Apendiks menghasilkan lendir 1 – 2 ml perhari, lendir ini secara normal dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran lendir di muara apendiks tampaknya berperan pada patogenesis apendisitis imunoglobin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (Gut Associated Lymphoid Tissue) yang terdapat disepanjang saluran cerna termasuk apendiks ialah Ig A. Imunoglobin ini sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun demikian pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh sebab jumlah jaringan limfe disini kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlah di saluran cerna dan seluruh tubuh.

5.      Patofisologi Apendisitis 

Apendisitis  biasanya  disebabkan  oleh  penyumbatan umen apendiks oleh hiperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya atau neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan. Makin lama mukus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen. Tekanan yang meningkat tersebut akan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema, diapedesis bakteri dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium.

Bila sekresi mukus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding. Peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritonium setempat sehingga menimbulkan nyeri di daerah kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan apensitis supuratif akut. Bila aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan gangren. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh itu pecah akan terjadi apendisitis perforasi.

Bila semua proses di atas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan bergerak ke arah apendiks hingga timbul suatu massa lokal yang disebut infiltrat apendikularis. Peradangan apendiks tersebut dapat menjadi abses atau menghilang. Pada anak-anak, karena omentum lebih pendek dan apendiks lebih panjang, dinding apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih kurang memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua perforasi mudah terjadi karena telah ada gangguan pembuluh darah.

6.      Manifestasi klinis Apendisitis 

Gejala awal hampir selalu berupa nyeri abdomen jenis viseral yang disebabkan oleh kontraksi apendiks atau distensi lumen apendiks. Biasanya lokasi nyeri di daerah periumbilikus atau epigastrium. Sering terdapat keinginan untuk defekasi atau flatus, salah satunya membebaskan distress. Nyeri viseral ini ringan, sering seperti kram dan jarang sekali berakibat buruk, biasanya berlangsung selama 4 sampai 6 jam, tetapi tidak diketahui pada individu yang tahan sakit atau pada beberapa pasien yang sedang tidur. Sejalan dengan menyebarnya proses inflamasi kepermukaan peritonium parietal, nyeri menjadi somatik, menetap, dan lebih berat, bertambah sakit bila bergerak atau batuk, biasanya berlokasi di kuadran kanan bawah. Anoreksia sering timbul sehingga adanya rasa lapar hendaknya menimbulkan kecurigaan besar pada diagnosis apendisitis akut. Mual dan muntah terjadi pada 50 sampai 60 persen kasus, tetapi muntahnya jarang profus dan berkepanjangan. Timbulnya rasa mual dan muntah sebelum awitan rasa nyeri sangat jarang terjadi.

Berubahnya kebiasaan buang air besar memiliki sedikit nilai diagnostik, karena ada atau tidak adanya perubahan dapat diamati meskipun terjadinya diare yang disebabkan oleh apendiks yang meradang dekat sigmoid dapat  menyulitkan diagnosis. Frekuensi berkemih dan disuria terjadi jika apendiks terletak dekat dengan kandung kemih. Bila apendiks yang meradang dekat sekali dengan peritoneum parietal bagian anterior  terdapat ketegangan otot yang pada awalnya masih kurang jelas. Ketegangan otot dan nyeri tekan menjadi lebih nyata sejalan dengan perkembangan penyakit menuju perforasi dan peritonitis lokal atau umum.

Pada beberapa keadaan, apendiks agak sulit didiagnosis sehingga tidak ditangani pada waktunya dan terjadi komplikasi. Gejala apendisitis pada anak tidak spesifik dengan gejala awalnya anak sering rewel dan tidak mau makan. Dalam beberapa jam kemudian akan timbul muntah-muntah dan anak menjadi lemah dan letergik. Karena gejala yang tidak khas terjadi sering apendisitis diketahui setelah perforasi. Pada orang usia lanjut, gejalanya juga sering samar-samar dan tidak jarang terlambat diagnosis sehingga separuh dari penderita baru dapat didiagnosis setelah perforasi.

 

7.      Pemeriksaan diagnostik Apendisitis 

Meskipun pemeriksaan dilakukan dengan cermat dan teliti, diagnosis klinis apendisitis masih mungkin salah pada sekitar 15 – 20 % kasus, terutama pada perempuan mengingat perempuan terutama yang masih muda sering timbul gangguan yang mirip apendisitis yang berasal dari genetalia interna karena ovulasi, menstruasi, radang di pelvis atau penyakit genekologik lain.

Untuk menghindari kesalahan diagnosis pada apendisitis bila diagnosis meragukan, sebaiknya dilakukan observasi penderita di rumah sakit dengan pengamatan setiap 1 – 2 jam.

Adapun pemeriksaan diagnostik yang didapat dilakukan adalah :

a.       SDP                       : Leukositosis   diatas   12.000/mm3,   neutrofil meningkat sampai 75 %.

b.      Urinalis                  : Normal, tetapi eritosit / leukosit mungkin ada.

c.       Foto abdomen       : Dapat menyatakan adanya pengerasan material pada apendiks (fekalit), ileus terlokalisir.

8.      Penatalaksanaan medis

a.       Sebelum operasi

1)      Observasi

Dalam 8 – 12 jam setelah timbulnya keluhan, tanda dan gejala apendisitis seringkali masih belum jelas. Dalam keadaan ini observasi ketat perlu dilakukan. Pasien diminta melakukan tirah baring dan dipuasakan. Laksatif tidak boleh diberikan bila dicurigai adanya apendisitis ataupun bentuk peritonitis lainnya. Pemeriksaan abdomen dan rektal serta pemeriksaan darah (leukosit dan hitung jenis) diulang secara periodik. Foto abdomen dan thoraks tegak dilakukan untuk mencari kemungkinan adanya penyulit lain. Pada kebanyakan kasus, diagnosis ditegakkan dengan lokalisasi nyeri di daerah kanan bawah dalam 12 jam setelah timbulnya keluhan.

2)      Intubasi bila perlu

3)      Antibiotik

b.      Operasi apendiktomi

c.       Pasca operasi

Perlu dilakukan observasi tanda-tanda vital untuk mengetahui terjadinya perdarahan di dalam, syok, hipertermia, atau gangguan pernapasan. Angkat sonde lambung bila pasien telah sadar, sehingga aspirasi cairan lambung dapat dicegah. Baringkan pasien dalam posisi fowler. Pasien dikatakan baik bila dalam 12 jam tidak terjadi gangguan dan selama itu pasien dipuasakan. Bila tindakan operasi lebih besar, misalnya pada perforasi atau peritonitis umum, puasa diteruskan sampai fungsi usus kembali normal. Kemudian berikan air minum mulai 15 ml/jam selama 4 – 5 jam lalu naikkan menjadi 30 ml/jam. Keesokan harinya diberikan makanan saring, dan hari berikutnya diberikan makanan lunak.

Satu hari pasca operasi pasien dianjurkan untuk duduk tegak di tempat tidur selama 2 x 30 menit. Pada hari kedua pasien dapat berdiri dan duduk di luar kamar. Hari ketujuh jahitan dapat diangkat dan pasien diperbolehkan pulang.

B.     Konsep asuhan keperawatan Apendisitis 

Keperawatan adalah pelayanan essensial individu, keluarga dan masyarakat yang diberikan kepada orang sehat, sakit baik promotif, kuratif, preventif dan rehabilitatif. Asuhan  keperawatan dilakukan dengan menggunakan pendekatan proses keperawatan melalui tahap pengkajian, perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dan keterampilan professional tenaga keperawatan.

1.      Pengkajian

Pengkajian merupakan tahap awal dan dasar proses keperawatan. Keberhasilan proses keperawatan sangat tergantung pada kecermatan dan ketelitian dalam mengenal masalah klien sehingga memberi arah kepada tindakan keperawatan. Dalam pengkajian yang dilakukan adalah mengkaji data dasar, meliputi :

a.       Biodata

Data lengkap dari klien meliputi : nama lengkap, umur, jenis kelamin, kawin/belum kawin, agama, suku bangsa, pendidikan, pekerjaan, pendapatan, dan alamat identitas penanggung, meliputi : nama lengkap, jenis kelamin, umur, suku bangsa, pendidikan, pekerjaan, pendapatan, hubungan dengan klien dan alamat.

b.      Keluhan utama

Keluhan apendisitis biasanya bermula dari nyeri di daerah umbilikus atau periumbilikus yang berhubungan dengan muntah. Dalam 2 – 12 jam nyeri akan beralih ke kuadran kanan bawah yang akan menetap dan diperberat bila berjalan atau batuk.

c.       Riwayat kesehatan

1)      Riwayat kesehatan sekarang

Keadaan yang didapatkan pada saat pengkajian misalnya nyeri hebat pada kuadran kanan bawah, konstipasi / diare, mual / muntah dan distensi abdomen.

2)      Riwayat kesehatan masa lalu

Faktor pencetus terjadinya apendisitis karena adanya erosi mukosa apendiks oleh parasit seperti E. Histolica dan sumbatan lumen apendiks yang disebabkan oleh hiperplasia jaringan limfe, tumor apendiks dan fekalit (tinja yang mengeras).

3)      Riwayat kesehatan keluarga

Apedisitis terjadi bukan karena penurunan dari generasi sebelumnya atau penyakit ditularkan dari anggota kelurga. Kasus ini kebanyakan didapatkan akibat penyumbatan dan infeksi lumen apendiks.

d.      Riwayat psikososial

Adanya faktor stress lama, masalah keuangan dan rumah, perasaan tak berdaya/tak ada harapan, ansietas, ketakutan dan mudah terangsang, perasaan isolasi, perubahan pola biasa dalam tanggung jawab / perubahan kapasitas fisik untuk melaksanakan peran terkadang muncul pada penderita apendisitis.

e.       Riwayat spiritual

Pada riwayat spiritual bila dihubungkan dengan apendisitis belum dapat diuraikan lebih jauh, tergantung dari dan kepercayaan masing-masing individu.

f.       Pemeriksaan fisik

1)      Keadaan umum : Klien nampak lemah

2)      Tanda-tanda vital : Suhu tubuh kadang meningkat, pernapasan dangkal dan nadi juga cepat, tekanan darah rendah (hipotensi).

3)      Review of sistem

a)      Sistem pernapasan       : Napas pendek (pernapasan dangkal) dan takipnea.

b)      Sistem kardiovaskuler : Takikardia, bekeringat, hipotensi (tanda syok) dan pucat.

c)      Sistem pencernaan      : Nyeri abdomen sekitar epigastrium dan umbilikus, distensi abdomen, penuru-nan ada bising usus, anoreksia, mual / muntah, ketidakmampuan defekasi / flatus, dan membran mukosa kering.

d)     Sistem indra                : Konjungtiva pucat dan mata cekung.

e)      Sistem saraf                 : Kadang suhu tubuh meningkat dan bisa berlanjut penurunan kesadaran (syok).

f)       Sistem muskuloskletal : Kekakuan abdomen dan kekuatan otot lemah.

g)      Sistem perkemihan      : Retensi perkemihan yaitu oliguri sam-pai anuri.

g.      Aktivitas sehari-hari

1)      Makanan / cairan      : Anoreksia, mual / muntah, haus, membran mukosa kering, dan turgor kulit buruk.

2)      Eliminasi                  : Konstipasi pada awitan awal, diare (kadang-kadang), distensi abdomen, nyeri tekan / nyeri lepas, kekakuan, penurunan atau tak ada bising usus.

3)      Aktivitas / istirahat   : Kelemahan (malaise), kesulitan ambulasi.

h.      Pemeriksaan diagnostik

1)      SDP                    : Leukositosis   diatas   12.000/mm3,   neutrofil meningkat sampai 75 %.

2)      Urinalis               : Normal, tetapi eritosit / leukosit mungkin ada.

3)      Foto abdomen    : Dapat menyatakan adanya pengerasan material pada apendiks (fekalit), ileus terlokalisir.

i.        Penatalaksanaan

1)      Sebelum operasi

a)      Observasi : Pasien diminta melakukan tirah baring dan dipuasakan. Laksatif tidak boleh diberikan bila dicurigai adanya apendisitis ataupun bentuk peritonitis lainnya.

b)      Intubasi bila perlu dan antibiotik

2)      Operasi apendiktomi

3)      Pasca operasi

a)       Observasi tanda-tanda vital untuk mengetahui terjadinya perdarahan, syok, hipertermia, atau gangguan pernapasan.

b)      Angkat sonde lambung bila pasien telah sadar, sehingga aspirasi cairan lambung dapat dicegah.

c)       Berikan air minum mulai 15 ml/jam selama 4 – 5 jam lalu naikkan menjadi 30 ml/jam.


3.      Diagnosa keperawatan Apendisitis 

Merujuk kepada defenisi NANDA yang digunakan pada diagnosa-diagnosa keperawatan yang telah ditetapkan. Ada tiga komponen esensial suatu diagnosa keperawatan yang telah dirujuk sebagai PES (Gardon, 1987), dimana “P” diidentifikasi sebagai problem, “E” menunjukkan etiologi dari problem dan “S” menggambarkan sekelompok tanda dan gejala. Ketiga bagian ini dipadukan dalam suatu pernyataan dengan menggunakan “berhubungan dengan”.

Dengan demikian diagnosa keperawatan yang dapat muncul / timbul adalah:

a.       Nyeri berhubungan dengan peradangan pada mukosa apendiks dan tindakan pembedahan.

b.        Resiko infeksi berhubungan dengan :

1)      Drainase vena menurun

2)      Prosedur invasif, insisi bedah

c.         Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan adanya nyeri gerak aktif dan pasif, defans muskuler lokal.

d.        Gangguan pola eliminasi BAB berhubungan dengan peristaltik usus meningkat.

e.         Gangguan pola eliminasi BAK berhubungan dengan kontraksi otot psoas mayor.

f.         Resiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan mual / muntah.

g.        Cemas berhubungan dengan koping mal adaptif.

4.      Perencanaan

Diagnosa I

Nyeri berhubungan dengan peradangan pada mukosa apendiks

Tujuan   :  Nyeri teratasi, dengan kriteria :

1)      Eskpresi wajah tidak meringis

2)      Klien tidak mengeluh nyeri

3)      Skala nyeri 0

4)      Tampak rileks, mampu tidur / istirahat dengan tepat.

a.       Kaji nyeri, catat lokasi, karakteristik, beratnya (skala 0 – 10). Selidiki dan laporkan perubahan nyeri dengan tepat.

Rasional : Berguna dalam pengawasan keefektifan obat, kemajuan pe-nyembuhan. Perubahan pada karakteristik menunjukkan terjadinya abses atau peritonitis, memerlukan upaya evaluasi medik dan intervensi.

b.      Pertahankan istirahat dengan posisi semi fowler.

Rasional : Gravitasi melokalisasi eksudat inflamasi dalam abdomen bawah atau pelvis, menghilangkan tegangan abdomen yang bertambah dengan posisi terlentang.

c.       Dorong ambulasi dini.

Rasional : Meningkatkan normalisasi fungsi organ, contoh merangsang peristaltik dan kelancaran flatus, menurunkan ketidaknyamanan abdomen.

d.      Berikan aktivitas hiburan.

Rasional : Fokus perhatian kembali, meningkatkan relaksasi dan dapat meningkatkan kemampuan koping.

e.       Pertahankan puasa / penghisapan NG pada awal.

Rasional : Menurunkan ketidaknyaman pada peristaltik usus dini dan iritasi gaster atau muntah.

f.       Berikan analgesik sesuai indikasi.

Rasional : Menghilangkan nyeri mempermudah kerjasama dengan intervensi terapi lain, contoh ambulasi, batuk.

g.      Berikan kantong es pada abdomen.

Rasional : Menghilangkan dan mengurangi nyeri melalui penghilangan rasa ujung saraf. Catatan : jangan lakukan kompres panas karena dapat menyebabkan kongesti jaringan.

Diagnosa  II

Resiko infeksi berhubungan dengan :

a.       Drainase vena menurun

b.      Prosedur invasif, insisi bedah

Tujuan :  Infeksi tidak terjadi, dengan kriteria :

Tidak ada tanda-tanda infeksi (calor, tumor, rubor, dolor dan gangguan fungsi lesa)

a.       Awasi tanda vital. Perhatikan demam, menggigil, berkeringat, perubahan mental, meningkatnya nyeri abdomen.

Rasional : Dugaan adanya infeksi / terjadinya sepsis, abses, peritonitis.

b.      Lakukan pencucian tangan yang baik dan perawatan luka aseptik. Berikan perawatan paripurna.

Rasional : Menurunkan resiko penyebaran bakteri.

c.       Lihat insisi dan balutan. Catat karakteristik drainase luka / drain (bila dimasukkan), adanya eritema.

Rasional : Memberikan deteksi dini terjadinya proses infeksi, dan / atau pengawasan penyembuhan peritonitis yang telah ada sebelumnya.

d.      Berikan informasi yang tepat, jujur pada pasien / orang terdekat.

Rasional : Pengetahuan tentang kemajuan situasi memberikan dukungan emosi, membantu menurunkan ansietas.

e.       Ambil contoh drainase bila diindikasikan.

Rasional : Kultur pewarnaan gram dan sensivitas berguna untuk menginden-tifikasi mikroorganisme penyebab dan pilihan terapi.

f.       Berikan antibiotik sesuai indikasi.

Rasional : Mungkin diberikan secara profilaktif atau menurunkan jumlah organisme (pada infeksi yang telah ada sebelumnya). Untuk menurunkan penyebaran dan pertumbuhan pada rongga abdomen.

g.      Bantu irigasi dan drainase bila diindikasikan.

Rasional : Dapat diperlukan untuk mengalirkan isi abses terlokalisir.

Diagnosa III

Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan adanya nyeri gerak aktif dan pasif, defans muskuler lokal.

Tujuan :  Gangguan mobilitas teratasi dengan kriteria

1)      Tidak ada kelemahan

2)      Massa dan tonus otot baik

a.       Catat respon emosi / perilaku pada imobilisasi.

Rasional : Imobilisasi yang dipaksakan dapat memperbesar kegelisahan, peka rangsang.

b.      Bantu klien untuk melakukan ROM pasif  ke aktif secara bertahap.

Rasional : ROM dapat melatih kekuatan otot dan sendi serta mencegah terjadinya atropi/ kontraktur.

c.       Bantu klien dalam memenuhi kebutuhannya setiap hari.

Rasional : Meminimalisasikan terjadinya kelemahan fisik yang lebih lanjut.

d.      Berikan perawatan kulit dengan baik, massase titik yang tertekan setelah setiap perubahan posisi.

Rasional : Menurunkan resiko iritasi / kerusakan pada kulit.

e.       HE tentang penyebab kelemahan dan manfaat tindakan

Rasional : Meningkatkan pengetahuan klien dan diharapkan dapat bekerja-sama dengan perawat dalam melakukan tindakan.

Diagnosa IV

Gangguan pola eliminasi BAB berhubungan dengan peristaltik usus meningkat

Tujuan : Gangguan eliminasi BAB teratasid dengan kriteria frekuensi BAB normal dan konsistensi lunak

a.       Konstipasi

1)      Gunakan sarung jari untuk menghancurkan massa besar dari faeces yang besar.

Rasional : Mendapatkan keuntungan refleks kartopolik keuntungan ref-leks kartopolik sehingga faeces yang mengeras dapat lunak.

2)      Hindari sarapan yang mengandung asam lemak.

Rasional : Asam lemak memperlambat rangsangan refleks dan memper-lambat pencernaan.

3)      Anjurkan klien / keluarga tentang pentingnya segera merespon terhadap perasaan ingin segera defekasi

Rasional : Adanya distensi kronis faces akan menjadi keras dalam rectum

4)      Anjurkan pemasukan cairan yang adekuat (300 – 350 cc / hari)

Rasional : Cairan membantu menjaga fases lemak yang diharapkan menu-runkan konstipasi.

b.      Diare

1)      Instruksikan klien / anggota keluarga untuk mencatat warna, volume, frekuensi dari facces.

Rasional : Volume cairan diare merupakan indi-kator yang penting dari mekanisme diare. Volume yang tinggi (lebih dari 1 liter sehari) menggambarkan bersal dari intestinal, jumlah yang sedikit menggambarkan berasal dari kolon.

2)      Ajarkan klien penggunaan yang tepat dari obat-obat anti diare.

Rasional : Obat-obatan anti diare tidak direkomendasikan untuk digunakan terus menerus dalam diare akut dan menular karena obat-obatan tersebut dapat menunda eradikasi alamiah dan eduksi.

Diagnosa V

Gangguan eliminasi BAK berhubungan dengan kontraksi otot psoas mayor

Tujuan : Gangguan eliminasi BAK teratasi dengan criteria :

1)      Frekuensi BAK teratur

2)      Tidak mengeluh sering BAK

a.       Kaji pola eliminasi.

Rasional : Mengetahui kebiasaan pola eliminasi klien dan menentukan rencana tindakan selanjutnya.

b.      Anjurkan untuk minum air banyak.

Rasional : Melancarkan pengeluaran urine.

c.       Pertahankan cateter untuk residu urine.

Rasional : Menghilangkan atau mencegah retensi urine.

Diagnosa VI

Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan mual / muntah

Tujuan : Nutrisi terpenuhi dengan kriteria :

1)      Klien tidak mual dan muntah

2)      Nafsu makan baik

3)      Mempertahankan berat badan normal

a.       Awasi haluaran selang NG. Catat adanya muntah / diare.

Rasional : Jumlah besar dari aspirasi gaster dan muntah / diare diduga terjadi obstruksi usus, memerlukan evaluasi lanjut.

b.      Auskultasi bising usus, catat bunyi tak ada / hiperaktif.

Rasional : Meskipun bising usus sering tak ada, inflamasi / iritasi usus dapat menyertai hiperaktivitas usus, penurunan absorbsi air dan diare.

c.       Ukur lingkar abdomen.

Rasional : Memberikan bukti kuantitas perubahan distensi gaster-usus dan atau akumulasi asites.

d.      Timbang berat badan yang teratur.

Rasional : Kehilangan / peningkatan dini menunjukkan perubahan hidrasi tetapi kehilangan lanjut diduga ada defisit nutrisi.

e.       Kaji abdomen dengan sering untuk kembali kebunyi yang lembut, penampilan bising usus normal, dan kelancaran flatus.

Rasional : Menunjukkan kembalinya fungsi usus ke normal dan kemampuan untuk memulai masukan peroral.

f.       Awasi BUN, protein albumin, glukosa, keseimbangan nitrogen ssesuai indikasi.

Rasional : Menunjukkan fungsi organ dan status / kebutuhan nutrisi.

g.      Tambahkan diet sesuai toleransi, contoh cairan jernih sampai lembut.

Rasional : Kemajuan diet yang hati-hati saat masukan nutrisi dimulai lagi menurunkan resiko iritasi gaster.

h.      Berikan hiperalimentasi sesuai indikasi

Rasional : Meningkatkan gangguan nutrien dan keseimbangan nitrogen positif pada pasien yang tak mampu mengasimilasi nutrien dengan normal.

Diagnosa VII

Cemas / ketakutan berhubungan dengan koping mal adaptif

Tujuan : Cemas teratasi dengan kriteria :

1)      Menyatakan kesedaran terhadap perasaan dan cara yang sehat untuk menghadapi masalah

2)      Melaporkan tingkat ansietas menurun sampai tingkat dapat ditangani

3)      Ekspresi wajah ceria

4)      Klien tampak rileks

a.       Evaluasi tingkat ansietas, catat respon verbal  dan nonverbal pasien. Dorong ekspresi bebas akan emosi.

Rasional : Ketakutan dapat terjadi karena nyeri hebat, meningkatkan perasaan sakit, penting pada prosedur diagnostik dan kemungkinan pembedahan.

b.      Beri kesempatan pada klien mengungkapkan perasaannya.

Rasional : Klien merasa diperhatikan oleh perawat dan mengetahui perma-salahan klien disaat menghadapi penyakit tersebut.

c.       Berikan informasi tentang proses penyakit dan catat antisipasi tindakan.

Rasional : Mengetahui apa yang diharapkan dapat menurunkan ansietas.

d.      Jadwalkan istirahat adekuat dan periode menghentikan tidur.

Rasional : Membatasi kelemahan, menghemat energi dan dapat meningkatkan kemampuan koping.

e.       Beri dorongan spiritual sesuai dengan agama dan kepercayaannya.

Rasional : Penyembuhan bukan hanya pada pengobatan saja tapi ada kuasa dari Allah SWT.

Posting Komentar untuk "Laporan Pendahuluan dan Konsep Dasar Medis Apendisitis "